Sejarah Lahirnya
Suku-suku di Kepenuhan
Balai Adat Melayu Riau
Luhak Kepenuhan Kecamatan Kepenuhan Kabupaten Rokan Hulu, Riau
Bhinneka tunggal ika
adalah semboyan pemersatu dari segala suku yang ada dibumi nusantara dari
sabang sampai merauke,mereka diikat oleh kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Salah satu kebhinneka tunggal ika itu termasuklah suku yang ada diluhak
Kepenuhan Kab.Rokan hulu-Riau. Suku-suku ini hidup saling berdampingan tanpa
ada suatu perbedaan yang dapat memisahkan mereka atau sesuatu yang akan memecah
belahkan keberadaan kesukuan yang dijunjung didaerah ini, kebhinekaan daerah
ini terletak pula pada semboyannya yaitu “Bisik Montok Uwang Koponuhan”.
Semboyan ini adalah melambangkan jati dari kesukuan diadat luhak kepenuhan.
Karena luhak kepenuhan termasuk dalam kelompok luhak nan-limo yaitu :
1. Luhak Rokan
2. Luhak Kunto
Darussalam
3. Luhak Rambah
4. Luhak Tambusai
5. Luhak Kepenuhan
Luhak Rokan dan luhak
Kunto Darussalam terletak di Rokan Kiri, sedangkan luhak Rambah,tambusai dan Kepenuhan
terletak didaerah Rokan Kanan.
Lahirnya Suku-Suku Di
Kepenuhan.
Kepenuhan pada mulanya
telah dihuni oleh kelompok masyarakat yang datang dari daerah daratan (diduga
dari Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Pagaruyung) dan juga dari daerah lautan
(Kerajaan Malaka,Malaysia). Kedatangan masyarakat ini berkelompok dan
kedatangan mereka silih berganti satu sama lain. Untuk mengetahui secara
mendalam tentang asal-usul masyarakat daerah ini, maka penulis (penulis yang
dimaksud bukan pemilik blog) akan memaparkan terlebih dahulu tentang sejarah
yang meletarbelakangi dari para pendatang tersebut.
Suatu ketika berlayar
sebuah perahu kapal dari hindia yang berasal dari gunung himalaya menuju
kedaerah malaka, ditengah mengarungi lautan mereka berselisih dengan perahu
asal jawa yang tujuan mereka ini adalah pulang kedaerah asal mereka yaitu pulau
jawa. Sekelompok orang jawa menyebut dengan Melayu. Melayu disini (diartikan
dengan orang yang berlari seperti orang yang dikejar) demikian anggapan orang
jawa yang melihat kejadian kapal dari hindia yang berlayar begitu kencang
dengan menyebut mlayu ! mlayu !! mlayu !!!.
Sesampai diselat
malaka, mereka melabuhkan perahu kapalnya ditepian untuk berhenti beberapa saat
guna manambah perbekalan dalam melanjutkan perjalanan berikutnya. Dengan
kedatangan sekolompok masyarakat ini penduduk setempat juga memilih alibi bahwa
rombongan yang datang adalah orang melayu dan ada sebagian lagi beranggapan
dengan orang Malaya. Tujuan dari rombongan perahu kapal tersebut adalah
kedaerah Rokan Kanan tepatnya didaerah Kepenuhan.
Perbekalan yang
dibutuhkan sudah mereka dapatkan dan tali yang diikatkan sudah pula dilepas
pertanda perahu kapal akan berlayar menuju persinggahan berikutnya yaitu daerah
Rokan. Ditengah perjalanan rombongan mengalami suatu hambatan bahwa perahu
kapal yang mereka tumpangi kandas ditengah sungai, karena tanpa mereka sadari
bahwa mereka terhenti, dengan situasi yang demikian para penumpang dan anggota
lainnya membantu untuk mengeluarkan perahu kapal yang kandas supaya perjalanan
dapat dilanjutkan kembali.
Situasi yang sedemikian
ada sebagian mereka menahan air atau menumpu perahu kapal agar perahu kapal
tidak lari arah dari yang direncanakan, adapula sebagian mereka yang berdiam
diri, adapula sebagian mereka menikmati dan mengikuti apa yang diperbuat oleh
rekan-rekannya yang lain, adapula yang menjadi kapten kapal baik dibawah
ditengah maupun diatas agar perahu kapal dapat terkendali dengan baik, dan
adapula yang mementingkan kepentingannya sendiri.
Demikian situasi yang
terjadi pada saat itu dan menurut sejarah dengan kejadian tersebut lahirlah
suku-suku yang menunjukkan jati diri yang mereka miliki, yaitu :
Melayu
Posisi mereka pada
kejadian itu ada tiga tempat yaitu :
• Posisi ditengah
adalah sebagai kapten kapal yang labih dikenal dengan nama Melayu Tongah
• Posisi diatas adalah
untuk mengatur layar, yang lebih dikenal dengan nama Melayu Ateh
• Posisi dibawah adalah
tugas mekanik, yang lebih dikenal dengan nama Melayu Pasak.
Filsafat yang dapat
diambil dari peristiwa diatas adalah suku melayu tidak memihak kepada siapapun
karena keberadaannya sebagai pemimpin dalam menjalankan tugas selama menempuh
perjalanan, tugas yang seperti itu selalu dipegang oleh orang melayu dalam
setiap menjalankan tugas yang diamanahkan kepada mereka tanpa memandang
darimana serta dengan siapa saja mereka berurusan.
Kandang Kopuh
Suku kandang kopuh
dinamakan demikian adalah tugas yang diembankan ketika itu adalah menahan air
atau yang lebih dikenal dalam bahasa kepenuhan “Mongandang” air agar air dapat
terkumpul sehingga air tergenang atau air tersebut terkumpul menjadi pasang
kembali.
Pungkut
Posisi mereka pada saat
itu hanya berdiam diri dalam perahu kapal, menunggu hasil pekerjaan dari
penumpang lain, suatu ketika mereka mengira kapal akan tenggelam dan mereka
berupaya menyelamatkan diri dari bahaya yang menimpa, karena ingin cepatnya
anak mereka sendiripun hampir tertinggal.
Moniliang
Sikap yang diambil suku
ini adalah mengelilingi perahu kapal, melihat kesana kemari sebentar kedepan
sebentar kebelakang, entah apa yang mereka kerjakan. Moniliang berarti
(mengelilingi kapal). Suatu ketika karena mengelilingi kelihatan oleh mereka
air pasang akan menimpa perahu kapal hingga mereka berucap “ bono ! bono !! itu
bono datang !!! “, bono artinya air, kemudian mereka berucap kembali “itulah
tadin ku sobuik aie akan datang, kalian onak bokoju yo, lotih awak !” ( kami
sudah berkata,air akan datang namun kalian ingin juga bekerja, capek kerja
terus ). “godang kato bang!” ucapan ini spontan keluar dari penumpang lain atas
sikap yang mereka ambil. Ucapan dari penumpang tersebut lengket kepada mereka
sehingga menjadi semboyan pula dari suku moniliang yaitu “godang kato uwang
moniliang”. Arti dari semboyan tersebut adalah mereka selalu meninggi, selalu
ingin lebih, selalu ingin pintar dan itulah orang moniliang.
Kuti
Suku ini berasal dari
kata mengikuti, sehingga menjadi kuti dalam perjalanan sejarah tersebut dari
suku ini hanya mengikuti apa yang terbaik untuk perahu kapal yang sedang
kandas, pokoknya menguti saja.
Ampu
Ketika perahu kapal
yang kandas, dari suku ini turun kebawah untuk menahan perahu kapal dari tempat
kandas agar perahu kapal tidak terpeleset ketempat yang lebih membahayakan,
mereka berupaya memberi tumpuan, dalam bahasa daerah kepenuhan “Mengampu”
artinya mencoba untuk menahan sekaligus mengangkat kapal yang kandas karena
pekerjaan ini amat berat sehingga mereka cepat marah apabila sesuatu belum
sesuai dengan apa yang dikerjakan, dan akan kita jumpai bahwa sifat marah ini
masih lengket dalam keseharian mereka.
Mais
Pada masa itu suku mais
merupakan suatu rombongan atau kelompok yang sedikit memiliki harta dan
kekayaan serta makanan,menurut sejarah mereka hanya mementingkan untuk urusan
mereka sendiri,jika orang tahu akan dimilikinya mereka akan menutupi kelebihan
yang mereka miliki. Atas sikap mereka itu timbul pula semboyan untuk suku ini
“kodek kandang to-oang” artinya kikir yang tidak berkesudahan.
Lahirnya suku tersebut
sebanyak tujuh suku yang lebih dikenal dengan suku nan-tujuh yaitu : suku
Melayu, suku Moniliang, suku Kandang Kopuh, suku Pungkuik, suku Kuti, suku
Mais, dan suku Ampu. Atas kerjasama dan tingkah polah yang mereka lakukan maka
perahu kapal yang kandas dapat terselamatkan,sehingga perahu kapal dapat berlayar
kembali sesuai dengan yang direncanakan menuju tanah harapan yaitu Kepenuhan.
Mereka memulai kehidupan kesehariannya yaitu : bercocok tanam, berladang,
nelayan dan berburu, komunitas ini terus berkembang sesuai dengan
perkembangannya sehingga dibutuhkan seorang pemimpin yang dapat mewadahi suku
nan-tujuh ini menjadi satu kasatuan yang utuh. Pada masa itu dipercayakan
kepada Datuk Bendahara Sakti dari suku melayu untuk memimpin mereka dengan baik
sebagaimana yang mereka harapkan.
Sumber : Buku Karangan
Ismail Hamkaz